Setiap Sabtu, Ia Bersedih

Ada seorang anak tetanggaku yang gemar memberikan sesuatu kepada orang-orang yang berjalan melewati rumahnya pada hari Sabtu. Usianya mungkin sembilan tahun—aku pernah menanyakan ini pada ibunya, tetapi aku lupa. Awalnya, aku tidak terlalu peduli pada apa yang ia lakukan. Yang aku tahu hanya: ia senang sekali membagikan sesuatu. Permen, bunga, buah, apa saja. Pernah pada suatu hari ia membagikan apel pada orang-orang yang lewat dan berkata bahwa memakan apel itu tidak akan membuat mereka tertidur. Pernah pada hari yang lain, ia membagikan koin cokelat dan berkata bahwa koin itu tidak bisa dipakai sebagai alat pembayaran yang sah—tentu saja. Ia menyenangkan dan selalu punya sesuatu untuk dibagikan. Dan itu membuat orang-orang menyukainya.

Beberapa hari lalu, aku keracunan makanan—dan membuatku jadi harus membatalkan beberapa rencana di akhir pekan. Sudah dua hari aku hanya bersantai di rumah; tidur, menonton film-film di Disney+ Hotstar, membaca buku, bermain tebak-tebakan, menulis sajak, semacam itu. Namun, hari ini agak berbeda. Tepat setelah aku bangun tidur, aku kehausan. Aku mendatangi dispenser dan air mineral dalam galon sudah habis.

Sungguh, aku haus sekali. Jadi, kukenakan sandal, kulompati pagar, dan aku berjalan menuju toko kelontong terdekat—lokasinya ada di ujung jalan. Dalam perjalanan menuju toko kelontong itu, dari kejauhan, aku melihat si anak kecil yang suka berbagi sedang duduk di halaman depan rumahnya—aku kemudian menyadari bahwa hari ini adalah hari Sabtu. 

Melihatku berjalan ke arahnya, anak kecil itu bangun dari duduknya dan berjalan mendekatiku. “Ada nastar gratis.” teriaknya, sambil menyodorkan stoples nastar yang sudah dibuka. Bicara soal nastar, ada tiga hal tentang diriku yang tidak diketahui banyak orang, yaitu (1) aku kurang suka nastar, (2) aku sebenarnya tidak suka makan kue kering, dan (3) aku pernah tersedak kue kering ketika kecil—dan katanya aku hampir mati.

Namun, percayalah, meski aku tidak menyukai nastar, aku tidak bisa menolak tawaran si anak kecil itu. Aku mengambil dua butir nastar (apakah hitungannya benar disebut butir? Atau lebih cocok disebut buah?) dan mengunyahnya satu-satu. Jujur, lidahku sedang tidak mampu merasa dengan benar. Tapi, tetap saja kubilang kepadanya, “Ini nastar paling enak di Asia Tenggara. Siapa yang membuatnya?”

“Mama dan Papa membelinya kemarin.” ucapnya, sambil tersenyum.

Aku tanpa sadar tersenyum juga. “Terima kasih. Aku mau ke toko di ujung jalan dulu.” ucapku.

Ia mengangguk. “Nanti lewat sini lagi?” tanyanya. 

“Tentu.” kataku.

“Kalau begitu, nanti boleh ambil nastar lagi. Hari ini enggak banyak yang lewat.” ucapnya.

Lanjutkan membaca “Setiap Sabtu, Ia Bersedih”

Frankfurt

“I’ve made a list of places we must visit in Frakfurt.” she said. Wore a t-shirt with the Angels and Airwaves logo, she came up to me and handed me a small piece of paper. “You can remove some if you want. Maybe half of it. If it’s more than half, I’ll hate you.”

“Let me see,” I said. “Old Town Center. The Palm Garden. Senckenberg Museum of Natural History. Frankfurt Cathedral. Goethe House and Museum. Frankfurt Zoo. Eschenheim Tower. Museumsufer. Old Opera House. Hauptwache. Kleinmarkthalle.” I sighed. “Where did you find all these places?”

“Google.” she answered. “Is that a problem or what?”

I returned the paper to her. “No, actually. But maybe we can just go to the Frankfurt Zoo, Frankfurt Cathedral, and . . . I don’t know, The Palm Garden?”

She plopped down on the sofa. “Tell me why.”

I sighed. “There’s not much time to visit all those places. And, you know me. I prefer zoos and churches and parks to—”

“We have plenty of time. We have five days in Frankfurt.”

I sighed again. “Yes. But we need to visit your long-lost father on the first day, visit my friends on the second, and attend some events on the third and fourth days. We only have, at least, one effective day to explore.”

She was silent for a long time. “What if…” she whispered.

“No.” I said. I’ve known her for four years. Everything she said after ‘what if’ would always be a bad idea.

Lanjutkan membaca “Frankfurt”

Jika Suatu Hari Nanti Aku Harus Bersedih, Aku Memiliki Naho

Aku tidak akan mengenal Naho jika dunia tidak memiliki internet. Aku tidak akan mengenal Naho jika Facebook tidak diciptakan. Aku tidak akan mengenal Naho jika aku tidak tergabung dalam grup Fans Makoto Shinkai. Aku tidak akan pernah mengenal Naho jika dulu aku tidak mencoba berdiskusi dengannya perihal The Garden of Words. Dan yang terpenting, aku tidak akan pernah mengenal Naho jika saat itu aku tidak memiliki keinginan untuk bunuh diri.

Secara tidak langsung, Naho menyelamatkanku. Jika saja saat itu aku tidak membuka Facebook dan tidak melihat kirimannya di grup, aku mungkin sudah tidak ada di Bumi; tidak mungkin menulis semua ini dan tidak mungkin bercerita perihal Naho. 

Kiriman Naho di grup Fans Makoto Shinkai saat itu sebenarnya biasa saja. Ia hanya bertanya perihal karya Makoto Shinkai yang mana yang cocok untuk menemaninya bersedih (ia menanyakannya dengan bahasa Inggris yang berantakan). Saat itu, aku menjawab pertanyaannya melalui direct message: terakhir kali aku menangis, itu karena aku menonton The Garden of Words (aku juga menjawabnya dengan bahasa Inggris yang berantakan). Tak lama, Naho menanggapi, lalu kami berdiskusi perihal mengapa The Garden of Words mampu menyimpan dan memancing banyak emosi meski konfliknya sangat sederhana. 

Kami berdiskusi selama hampir tiga jam, dan tentu masih dengan bahasa Inggris yang berantakan. Berbeda dengan kebanyakan perempuan yang kutemui, Naho lebih senang bertanya daripada menjawab. Ia terus bertanya perihal bagian-bagian dari film The Garden of Words—ia bahkan menanyakan pendapatku perihal warna daun dan situasi stasiun. Kami seperti dua amatir yang sedang berusaha membedah sebuah film dengan kesoktahuan kami. 

Kami membicarakan The Garden of Words, The Garden of Words, The Garden of Words, The Garden of Words, hingga akhirnya kami mulai kehabisan hal untuk ditanyakan. Pada keheningan itu, aku bertanya kepada Naho: mengapa kau ingin bersedih?

Ia kemudian menjawab: aku memang sedang bersedih.

Aku bertanya lagi: mengapa kau butuh film untuk bersedih?

Ia menjawab: agar aku tidak merasa sendirian.

Aku membalas: jujur, aku pun sedang bersedih.

Ia membalas: kita harus menonton The Garden of Words bersama.

Aku membalas: ya, mungkin.

Ia membalas: ya, ide bagus, kan?

Aku kemudian penasaran dan bertanya: mengapa kau bersedih?

Ia balik bertanya: mengapa tidak boleh?

Aku membalas: aku hanya ingin tahu mengapa, bukan melarang.

Ia tidak membalas. Aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Tidak ada balasan. Beberapa kali aku membuka profil Naho dan melihat-lihat kirimannya. Ia orang Jepang—tentu saja. Ia suka mendengarkan lagu-lagu Jepang—bukan informasi yang penting. Ia mengikuti manga One Piece dan One Punch Man—siapa yang tidak? Kirimannya yang cukup menarik adalah: foto makam seseorang yang ia unggah dua hari lalu.

Sudah pukul empat pagi dan tidak ada balasan dari Naho. Mataku berat sekali dan aku lupa akan rencanaku. Yang kuingat, aku membaringkan tubuhku di lantai, lalu semua menjadi gelap.

Aku terbangun pukul sembilan dengan kepala yang sakit. Aku meraih ponsel, tetapi nihil notifikasi. Sebenarnya, inilah alasanku ingin bunuh diri: aku merasa tidak memiliki siapa-siapa—meski sebenarnya aku mengenal dan memiliki hubungan baik dengan banyak orang. Kau tahu, kesepian bukan soal tidak memiliki teman, tetapi soal merasa tidak memiliki teman. Aku hidup dengan perasaan itu setiap hari—dan aku sungguh lelah. Ditambah lagi, dunia ini menyebalkan.

Jauh sebelum Nadin Amizah berkata bahwa hidup berjalan seperti bajingan, aku sudah tahu bahwa hidup ini memang bajingan, dan kita semua dipaksa menjadi bajingan untuk bisa menjalaninya. Sayangnya, tidak semua orang mampu menjadi bajingan. Dua bulan lalu, saat tengah malam, aku dipukuli oleh dua orang dan seluruh uangku dirampas. Beberapa hari setelahnya, ketika tengah malam, aku berpapasan dengan seorang kutu buku yang berasal dari keluarga kaya (aku mengetahuinya karena aku melihat sepatunya adalah Air Jordan) dan aku tidak sampai hati untuk merampas uangnya. Lihat? Tak semua orang mampu menjadi bajingan.

Setelah melakukan sedikit peregangan pada tubuhku yang kaku, aku beranjak menuju tangga dan bergegas pergi ke atap gedung. Aku telah menghabiskan tiga ratus ribu rupiah untuk menginap di hotel bobrok ini, hanya agar aku bisa melompat dari atapnya. 

Sesampainya di atap, aku melihat langit sangatlah biru dan sinar matahari mencoba membakar aku yang putus asa. Aku melangkah menuju tepi, kemudian melihat kendaraan-kendaraan yang sedang berbaris di bawah. Bukankah menyebalkan hidup di dunia ini? Setiap hari harus melawan waktu, menjadi bagian dari kemacetan, tua di jalan, sakit-sakitan, hidup dalam ketidakpastian, lalu wafat. Syukurlah, aku punya keberanian untuk mengambil jalan pintas, sehingga aku tidak harus melewati semua hal menyebalkan itu.

Ketika aku sedang berpikir sebaiknya aku melompat dengan gaya apa, ponselku bergetar. Ada balasan dari Naho. Ia bilang: aku kehilangan seseorang. 

Klise, pikirku. Aku tersenyum sinis, lalu membalas: apa tanggapanmu soal bunuh diri? Kudengar, ada banyak orang bunuh diri di Jepang. Aku tidak tahu mengapa aku menanyakan itu kepada Naho. Mungkin karena aku butuh validasi mengenai apa yang akan kulakukan. Atau mungkin, aku hanya ingin punya alasan lain untuk meloncat.

Aku menunggu, menunggu, dan menunggu, hingga ponselku kembali bergetar. Naho membalas: ya, memang, dan kakakku salah satunya. 

Tiba-tiba aku teringat soal foto makam yang Naho unggah. Aku kemudian bertanya: kapan ia bunuh diri?

Naho membalas: tiga hari lalu.

Kubalas: jadi, itu alasanmu bersedih?

Naho membalas: ya, itu salah satunya.

Mengapa itu hanya salah satunya? Ada berapa banyak alasannya bersedih?

Belum sempat aku membalas, Naho kembali mengirim pesan: kemarin, aku baru mengetahui bahwa ia pelaku kekerasan, penjual narkoba, dan juga penipu. Ia punya musuh di mana-mana.

Aku tidak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya membalas: ow.

Naho kemudian membalas: ada dua alasan lagi mengapa aku bersedih.

Aku membalas: apa?

Balas Naho: setelah orang-orang tahu bahwa ia pelaku kekerasan, penjual narkoba, dan juga penipu, orang-orang tidak lagi bersedih untuknya. Orang-orang malah bersyukur ia mati. Mereka menyumpahi dan meludahinya makamnya. 

Membaca pesan Naho, dadaku mulai sakit. Aku membalas: lalu, bagaimana denganmu?

Naho membalas: itu alasanku bersedih selanjutnya. Aku sendirian. Aku harus melewati semua ini sendirian. Aku punya ayah, sebenarnya. Tapi, kau tahu, tidak semua ayah bisa menjadi ayah. Dan jujur, aku malas membahasnya. Itu akan membuka pintu kesedihan lain untuk kesedihanku yang sekarang.

Aku tidak tahu lagi harus membalas apa. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa mampu merasakan kesedihan orang lain. Padahal, aku dan Naho bukanlah sahabat dekat atau semacamnya—kami bahkan baru kenal. Namun, di dalam diriku, aku merasa cerita Naho perihal kakaknya membuat keinginan bunuh diriku mengecil.

Aku kemudian bertanya: bagaimana aku bisa membantumu?

Naho menjawab: kau sudah membantuku dengan menemaniku bicara. Musuh utamaku saat ini adalah kesendirian.

Aku menjauhkan diri dari tepi gedung dan menyandarkan diri. Aku bertanya pada Naho: kau tidak berpikir untuk bunuh diri, kan?

Naho menjawab: tentu tidak. Itu adalah hal paling bodoh untuk dilakukan. Kakakku bodoh karena melakukannya.

Aku bertanya: mengapa itu termasuk hal bodoh?

Jawab Naho: tak sadarkah kau, ketika kau bunuh diri, kau juga membunuh orang-orang yang mengenalmu, mencintaimu, dan peduli kepadamu? Bahkan jika kau merasa bahwa kau tidak memiliki siapa-siapa, orang-orang seperti itu akan tetap ada. Memang sulit untuk merasakan keberadaan mereka ketika kau sedang merasa terpuruk atau sedih. Dunia rasanya gelap. Tidak ada cahaya untuk hari esok. Semuanya terasa kosong.

Aku mencoba membalas, tetapi aku hanya mengetik dan menghapus, mengetik dan menghapus, mengetik dan menghapus. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.

Belum sempat aku membalas, Naho mengirim: kakakku selalu merasa bahwa ia sendirian. Ia selalu merasa bahwa ia melawan masalahnya sendiri dan tidak ada yang peduli padanya. Ia hidup dalam pikirannya sendiri selama bertahun-tahun. Beberapa bulan terakhir, ia bahkan mulai tidak peduli pada pesan-pesanku. Ia hanya berpikir bahwa ia lebih baik tidak ada di Bumi. Ia bodoh. Ia bodoh karena ia benar-benar menuruti pikirannya itu. Ia bodoh karena telah membuatku berantakan. Ia bodoh karena membuatku merasa seperti mayat hidup untuk saat ini.

Aku bingung, iba, dan masih tidak tahu apa yang harus kukatakan. Setelah beberapa menit, aku membalas: jika begitu, berjanjilah untuk tidak mengikuti jejak kakakmu.

Naho membalas: mengapa aku harus berjanji? Aku memang tidak akan mengikuti jejaknya.

Aku membalas: berjanjilah jika itu memang tidak akan terjadi.

Naho membalas: aku tidak suka berjanji untuk hal yang sudah jelas. Tapi, baiklah, aku akan berjanji jika kau juga berjanji.

Aku membalas: aku? Berjanji apa?

Balas Naho: berjanjilah untuk tidak bunuh diri juga. Mudah, bukan? Kita jadi sama-sama berjanji untuk hal yang tidak akan pernah kita lakukan.

Aku menelan ludah, berpikir, dan membalas: bagaimana jika suatu hari nanti aku bunuh diri?

Naho menjawab: maka kau telah membunuh orang-orang yang menyayangimu dan kehilangan kemungkinan untuk berbahagia bersama mereka. Kau ini menyimak atau tidak, sih?

Aku membalasnya dengan pertanyaan: mengapa kau bisa berkata seperti itu dalam keadaanmu yang seperti ini?

Naho membalas: oh, aku hanya perlu melihat diriku.

Aku membalas: apa yang sedang kaulakukan sekarang?

Naho membalas: menangis. Kau?

Aku membalas: duduk. Tapi, sepertinya aku juga akan menangis.

Naho bertanya: haruskah kita menonton The Garden of Words sekarang?

Aku menjawab: aku tidak tahu. Aku sedang ada di atap gedung.

Naho bertanya: sedang apa di atap gedung?

Aku menjawab: menatap langit.

Naho menjawab: menangislah kepada langit.

Aku bertanya: mengapa begitu?

Naho menjawab: karena langit juga sering menangis.

Aku bertanya: hujan, maksudmu?

Balas Naho: apa bedanya?

Jawabku: tidak ada.

Naho membalas: menangislah. Kalau dipikir-pikir, lucu juga. Aku baru mengenalmu beberapa jam lalu, lalu sekarang kita menjadi dua orang yang menangis. Aku bahkan bercerita kepadamu soal kakakku. Harusnya aku tidak menceritakannya kepada orang asing. Ya, tapi, mau bagaimana lagi? Kesedihan membuat kita melakukan hal-hal yang tidak terduga. Lagipula, setelah ini, kau sepertinya tidak lagi menjadi orang asing. Mana ada orang asing yang menangis bersama?

Aku tersenyum, meski dadaku makin sesak. Aku kemudian membalas: takdir?

Naho membalas: mungkin. 

Aku diam sejenak. Tiba-tiba, di kepalaku muncul banyak hal. Pekerjaan yang dengan susah payah kudapatkan, kebahagiaanku ketika bermain musik, senyum seseorang di ujung jalan, tawa anak-anak di taman, sikap ramah kasir minimarket, pelukan mantan kekasihku sebelum ia meninggal karena kanker, senyum ibuku, tawa ibuku, pelukan ibuku, nasihat ibuku—semuanya bercampur menjadi satu dan menciptakan dimensi lain untuk kebahagiaanku yang pernah dan telah. 

Aku kemudian menangis. Sesenggukan.

Sekitar setengah jam kemudian, aku membalas pesan Naho: apakah tangismu sudah berhenti?

Naho membalas: sudah. Air mataku tidak banyak.

Aku membalas: aku juga sudah.

Naho bertanya: kau dari Indonesia, ya? Aku pernah satu kali ke Indonesia.

Aku membalas: datanglah lagi.

Naho membalas: kelak.

Aku bertanya: sekarang, setelah menangis, apa yang akan kita lakukan?

Naho menjawab: melanjutkan hidup.

Aku bertanya: hidup yang seperti apa?

Naho menjawab: hidup yang tidak seperti yang kita bayangkan.

Aku membalas: baiklah. Kita mulai?

Naho membalas: ya, ayo kita mulai.

Tidak ada yang pernah mengira, setelah kejadian dan percakapan itu, aku dan Naho menjadi dua orang yang banyak bertukar cerita dengan keterbatasan berbahasa. Kadang, ketika kami lelah bercerita dalam bahasa Inggris, kami memanfaatkan Google Translate. Jadi, Naho menulis semuanya dalam bahasa Jepang, lalu aku akan memakai Google Translate untuk menerjemahkannya—meski kadang hasil terjemahannya aneh dan tidak masuk akal. Begitu pun sebaliknya.

Sejak itu, keinginan bunuh diri tidak pernah muncul lagi dalam kepalaku. Mungkin karena aku telah memiliki teman yang lebih menyedihkan daripada aku. Atau mungkin karena aku telah memiliki seseorang yang menemaniku memulai hidup baru. Kata orang, berdua lebih baik daripada sendiri. Memang betul. Dan sebetulnya, sendiri pun sama baiknya, jika kau terus mengingat orang-orang yang kausayangi dan/atau setidaknya pernah menyayangimu. 

Naho tidak akan pernah tahu bahwa ia telah menyelamatkanku—dan aku tidak akan pernah mengatakan itu kepadanya seolah-olah ia telah menarikku keluar dari kesedihan untuk selama-lamanya. Sebab aku tahu: kesedihan tetap punya waktunya sendiri. Pada saat kesedihan berikutnya datang, bisa jadi Naho tidak mampu menyelamatkanku. Atau mungkin, bukan Naho yang nantinya menyelamatkanku. Satu yang aku tahu: jika suatu hari nanti aku harus bersedih, aku memiliki Naho. Dan jika pada hari itu Naho tidak ada, aku tahu: aku memiliki diriku yang telah bertahan sampai saat ini.

—- Dionisius Dexon

Satu Hari Bersama Naho di Pusat Jakarta

Entah sudah berapa lama aku dan Naho duduk berdua sambil melihat anak-anak berlarian dan jatuh dan bangun dan jatuh lagi di taman. Aku bahkan tak ingat bagaimana kami bisa sampai ke taman ini. Dua hari ini, kehidupan kami lebih banyak diisi oleh keheningan (kami lebih sering menggunakan gerakan tubuh untuk mengatakan sesuatu). Pagi tadi, ketika kami sedang berbelanja di minimarket, aku hanya perlu menggenggam barang yang kurasa perlu dibeli. Jika Naho mengangguk, maka ia setuju. Siang tadi, ketika kami lapar, dengan ibu jariku, aku menunjuk salah satu restoran kecil yang jaraknya sekitar 50 meter dari kami. Naho menaik-turunkan alis dua kali sebagai tanda oke-makan-di-sana-boleh-juga.

Sungguh, tak banyak kata yang keluar dari mulut kami selama dua hari ini. Percakapan panjang terakhir yang kuingat hanyalah ketika aku menjemput Naho di bandara. Itu pun kami hanya membicarakan soal apa rencana Naho selama ia berada di Indonesia. Dan rencananya adalah: tidak ada. Kata Naho, ia hanya ingin menenangkan diri. Itu saja. Sejak percakapan itu, aku dan Naho seolah-olah sepakat untuk menjaga apa yang akan kami katakan. Di antara kami, seperti ada peraturan tak tertulis: Jika tidak terlalu penting, jangan dikatakan. 

Ketika kami tiba di taman, Naho duduk di kursi yang 50% pegangannya sudah berkarat. Ia kemudian memintaku duduk dengan cara menepuk bagian kursi yang kosong. Tak lama setelah aku duduk, Naho mengeluarkan ponsel bodohnya (ia masih menolak menyebutnya ponsel pintar atau smartphone). Ia kemudian menaruh penyuara telinga di telinga kananku dan telinga kirinya, lalu menempatkan jari telunjuknya di depan bibir sebagai tanda tolong-diam-dulu-ya.

Ia memutar lagu berbahasa Jepang. Naho tahu betul, aku hanya bisa benar-benar menyukai lagu jika aku memahami liriknya. Dan Naho pun tahu betul, aku tidak mengerti bahasa Jepang. Itu tandanya, Naho tidak berusaha membuatku menyukai lagu yang ia putar. Ia hanya ingin berbagi apa yang ia dengar denganku. 

Ternyata, tak hanya satu lagu yang ingin Naho dengar. Ia telah membuat playlist (aku mengetahuinya karena Naho tak menyentuh ponselnya lagi sejak lagu pertama diputar). Lagu terus berganti. Setelah lagu satu habis, lagu lainnya segera terputar. Seluruhnya berbahasa Jepang, kecuali salah satu lagu instrumental yang kutahu bahwa artisnya adalah Yiruma. 

Dengan lagu yang terus beganti di telinga kananku, aku jadi melihat beberapa hal secara berbeda. Anak-anak yang sedang berlarian dan para orang tua yang sedang berjalan seperti sedang menghabiskan hari terakhir mereka di Bumi. Esok mungkin kiamat datang dan sore tidak akan pernah ada lagi. Aku tak tahu mengapa aku bisa berpikir begitu. Yang kutahu, ketika aku memikirkan itu, di telinga kananku sedang terputar lagu yang suasananya menyedihkan. 

Sesekali, aku menoleh dan melihat wajah Naho. Ia kadang tersenyum. Ia kadang murung. Tatapannya sering kali kosong. Aku tahu, aku bukanlah Ahli Sosial. Aku tidak pernah mempelajari ilmu sosial ataupun belajar soal bagaimana manusia bersikap. Tetapi, aku cukup yakin: Naho sedang bersedih. Atau, ia mungkin sedang mengunjungi kesedihannya di masa lalu. 

Melihat Naho yang seperti itu, aku juga jadi ingin mengingat beberapa hal. Apa yang baru-baru ini terjadi? Seorang influencer melakukan pelecehan seksual, jumlah penderita Covid-19 naik drastis, Aldi Taher me-mention Green Day untuk mengabari #poligami_enak, Mark Hoppus ternyata menderita kanker, dan Tom DeLonge sudah mengumumkan jadwal tur untuk AVA. Apa lagi? Hanya itu yang bisa kuingat. Hanya itu. Hal selain itu yang bisa kuingat adalah senyum Naho ketika aku menjemputnya di bandara, tatapan Naho ketika kami makan siang, dan pipi Naho yang menggembung ketika aku tetap membeli barang-barang tak penting di minimarket (barang-barang yang tak ia setujui). Entah mengapa, dalam dua hari ini, meski aku dan Naho tidak banyak mengobrol, aku merasa ada lebih banyak Naho di dalam diriku.

Ketika aku sibuk menjelajah ingatanku, Naho menyenggol lenganku dengan sikutnya. Ia kemudian menyodorkan ponselnya kepadaku. Aku meraihnya. Di ponsel itu, terbuka aplikasi Spotify. Naho menaik-turunkan alisnya dan melirik ke ponselnya berkali-kali, yang jika kuterjemahkan dengan kesoktahuanku, artinya ayo-sekarang-giliranmu-memilihkan-lagu-karena-lagu-dalam-daftarku-sudah-habis. Aku baru menyadari: sudah tidak ada suara apa pun di telinga kananku.

Aku sungguh sangat berusaha mencari lagu dan musisi yang tepat. Di kepalaku hanya muncul tiga nama: Sisir Tanah, Tony Sly, dan Grrrl Gang. Sayangnya, dari tiga nama itu, tak ada yang kurasa penting untuk didengarkan saat ini. Jadi, aku mencoba mengambil alternatif lain: tidak mendengarkan apa-apa. Aku melepas penyuara telinga yang ada di telingaku dan telinga Naho, kemudian menunjuk anak-anak yang masih saja berlarian.

Naho mengerti. Matanya mengikuti ke manapun anak-anak itu berlari. Ketika salah seorang anak terjatuh (lagi), Naho tersenyum, hampir tertawa. Kupikir, inilah musik yang paling pantas kami dengar; musik kehidupan yang tak pernah sama setiap harinya.

Ketika anak-anak itu mulai lelah dan matahari mulai menuju tenggelam, Naho meraih ponselnya yang sejak tadi masih ada di tanganku. Ia mengetik sesuatu. Berkali-kali ia mengetik dan menghapusnya. Berkali-kali ia mengalihkan pandangannya dari ponsel untuk berpikir, lalu kemudian mengetik lagi.

Tepat ketika matahari separuh tenggelam, Naho memberikan ponselnya kepadaku. Di layar ponselnya terlihat: laman Google Translate. Di sisi kirinya terdapat kanji Jepang yang tidak kumengerti, dan di sisi kanannya terdapat terjemahan dari kanji tersebut, yang tertulis: Aku sungguh tidak pernah bisa menikmati kesepian, hingga akhirnya aku menikmati kesepian itu bersamamu. Yang akhir-akhir ini kuinginkan hanyalah sendirian sambil ditemani. Hal yang tak logis. Tetapi, kau berhasil melakukannya. Untukku. Tolong tetap lakukan ini. Ada banyak hal yang terjadi. Aku butuh kesepian ini lebih lama lagi. 

Aku tak membalas pesannya melalui Google Translate. Aku hanya mengangguk dan mengembalikan ponselnya. Di dalam diriku, aku tahu: aku selalu ingin berada dalam situasi seperti ini; situasi ketika dua manusia saling mendiamkan, tetapi dua-duanya tahu bahwa mereka saling membutuhkan.

— Dionisius Dexon