Aku tidak akan mengenal Naho jika dunia tidak memiliki internet. Aku tidak akan mengenal Naho jika Facebook tidak diciptakan. Aku tidak akan mengenal Naho jika aku tidak tergabung dalam grup Fans Makoto Shinkai. Aku tidak akan pernah mengenal Naho jika dulu aku tidak mencoba berdiskusi dengannya perihal The Garden of Words. Dan yang terpenting, aku tidak akan pernah mengenal Naho jika saat itu aku tidak memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Secara tidak langsung, Naho menyelamatkanku. Jika saja saat itu aku tidak membuka Facebook dan tidak melihat kirimannya di grup, aku mungkin sudah tidak ada di Bumi; tidak mungkin menulis semua ini dan tidak mungkin bercerita perihal Naho.
Kiriman Naho di grup Fans Makoto Shinkai saat itu sebenarnya biasa saja. Ia hanya bertanya perihal karya Makoto Shinkai yang mana yang cocok untuk menemaninya bersedih (ia menanyakannya dengan bahasa Inggris yang berantakan). Saat itu, aku menjawab pertanyaannya melalui direct message: terakhir kali aku menangis, itu karena aku menonton The Garden of Words (aku juga menjawabnya dengan bahasa Inggris yang berantakan). Tak lama, Naho menanggapi, lalu kami berdiskusi perihal mengapa The Garden of Words mampu menyimpan dan memancing banyak emosi meski konfliknya sangat sederhana.
Kami berdiskusi selama hampir tiga jam, dan tentu masih dengan bahasa Inggris yang berantakan. Berbeda dengan kebanyakan perempuan yang kutemui, Naho lebih senang bertanya daripada menjawab. Ia terus bertanya perihal bagian-bagian dari film The Garden of Words—ia bahkan menanyakan pendapatku perihal warna daun dan situasi stasiun. Kami seperti dua amatir yang sedang berusaha membedah sebuah film dengan kesoktahuan kami.
Kami membicarakan The Garden of Words, The Garden of Words, The Garden of Words, The Garden of Words, hingga akhirnya kami mulai kehabisan hal untuk ditanyakan. Pada keheningan itu, aku bertanya kepada Naho: mengapa kau ingin bersedih?
Ia kemudian menjawab: aku memang sedang bersedih.
Aku bertanya lagi: mengapa kau butuh film untuk bersedih?
Ia menjawab: agar aku tidak merasa sendirian.
Aku membalas: jujur, aku pun sedang bersedih.
Ia membalas: kita harus menonton The Garden of Words bersama.
Aku membalas: ya, mungkin.
Ia membalas: ya, ide bagus, kan?
Aku kemudian penasaran dan bertanya: mengapa kau bersedih?
Ia balik bertanya: mengapa tidak boleh?
Aku membalas: aku hanya ingin tahu mengapa, bukan melarang.
Ia tidak membalas. Aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Tidak ada balasan. Beberapa kali aku membuka profil Naho dan melihat-lihat kirimannya. Ia orang Jepang—tentu saja. Ia suka mendengarkan lagu-lagu Jepang—bukan informasi yang penting. Ia mengikuti manga One Piece dan One Punch Man—siapa yang tidak? Kirimannya yang cukup menarik adalah: foto makam seseorang yang ia unggah dua hari lalu.
Sudah pukul empat pagi dan tidak ada balasan dari Naho. Mataku berat sekali dan aku lupa akan rencanaku. Yang kuingat, aku membaringkan tubuhku di lantai, lalu semua menjadi gelap.
Aku terbangun pukul sembilan dengan kepala yang sakit. Aku meraih ponsel, tetapi nihil notifikasi. Sebenarnya, inilah alasanku ingin bunuh diri: aku merasa tidak memiliki siapa-siapa—meski sebenarnya aku mengenal dan memiliki hubungan baik dengan banyak orang. Kau tahu, kesepian bukan soal tidak memiliki teman, tetapi soal merasa tidak memiliki teman. Aku hidup dengan perasaan itu setiap hari—dan aku sungguh lelah. Ditambah lagi, dunia ini menyebalkan.
Jauh sebelum Nadin Amizah berkata bahwa hidup berjalan seperti bajingan, aku sudah tahu bahwa hidup ini memang bajingan, dan kita semua dipaksa menjadi bajingan untuk bisa menjalaninya. Sayangnya, tidak semua orang mampu menjadi bajingan. Dua bulan lalu, saat tengah malam, aku dipukuli oleh dua orang dan seluruh uangku dirampas. Beberapa hari setelahnya, ketika tengah malam, aku berpapasan dengan seorang kutu buku yang berasal dari keluarga kaya (aku mengetahuinya karena aku melihat sepatunya adalah Air Jordan) dan aku tidak sampai hati untuk merampas uangnya. Lihat? Tak semua orang mampu menjadi bajingan.
Setelah melakukan sedikit peregangan pada tubuhku yang kaku, aku beranjak menuju tangga dan bergegas pergi ke atap gedung. Aku telah menghabiskan tiga ratus ribu rupiah untuk menginap di hotel bobrok ini, hanya agar aku bisa melompat dari atapnya.
Sesampainya di atap, aku melihat langit sangatlah biru dan sinar matahari mencoba membakar aku yang putus asa. Aku melangkah menuju tepi, kemudian melihat kendaraan-kendaraan yang sedang berbaris di bawah. Bukankah menyebalkan hidup di dunia ini? Setiap hari harus melawan waktu, menjadi bagian dari kemacetan, tua di jalan, sakit-sakitan, hidup dalam ketidakpastian, lalu wafat. Syukurlah, aku punya keberanian untuk mengambil jalan pintas, sehingga aku tidak harus melewati semua hal menyebalkan itu.
Ketika aku sedang berpikir sebaiknya aku melompat dengan gaya apa, ponselku bergetar. Ada balasan dari Naho. Ia bilang: aku kehilangan seseorang.
Klise, pikirku. Aku tersenyum sinis, lalu membalas: apa tanggapanmu soal bunuh diri? Kudengar, ada banyak orang bunuh diri di Jepang. Aku tidak tahu mengapa aku menanyakan itu kepada Naho. Mungkin karena aku butuh validasi mengenai apa yang akan kulakukan. Atau mungkin, aku hanya ingin punya alasan lain untuk meloncat.
Aku menunggu, menunggu, dan menunggu, hingga ponselku kembali bergetar. Naho membalas: ya, memang, dan kakakku salah satunya.
Tiba-tiba aku teringat soal foto makam yang Naho unggah. Aku kemudian bertanya: kapan ia bunuh diri?
Naho membalas: tiga hari lalu.
Kubalas: jadi, itu alasanmu bersedih?
Naho membalas: ya, itu salah satunya.
Mengapa itu hanya salah satunya? Ada berapa banyak alasannya bersedih?
Belum sempat aku membalas, Naho kembali mengirim pesan: kemarin, aku baru mengetahui bahwa ia pelaku kekerasan, penjual narkoba, dan juga penipu. Ia punya musuh di mana-mana.
Aku tidak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya membalas: ow.
Naho kemudian membalas: ada dua alasan lagi mengapa aku bersedih.
Aku membalas: apa?
Balas Naho: setelah orang-orang tahu bahwa ia pelaku kekerasan, penjual narkoba, dan juga penipu, orang-orang tidak lagi bersedih untuknya. Orang-orang malah bersyukur ia mati. Mereka menyumpahi dan meludahinya makamnya.
Membaca pesan Naho, dadaku mulai sakit. Aku membalas: lalu, bagaimana denganmu?
Naho membalas: itu alasanku bersedih selanjutnya. Aku sendirian. Aku harus melewati semua ini sendirian. Aku punya ayah, sebenarnya. Tapi, kau tahu, tidak semua ayah bisa menjadi ayah. Dan jujur, aku malas membahasnya. Itu akan membuka pintu kesedihan lain untuk kesedihanku yang sekarang.
Aku tidak tahu lagi harus membalas apa. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa mampu merasakan kesedihan orang lain. Padahal, aku dan Naho bukanlah sahabat dekat atau semacamnya—kami bahkan baru kenal. Namun, di dalam diriku, aku merasa cerita Naho perihal kakaknya membuat keinginan bunuh diriku mengecil.
Aku kemudian bertanya: bagaimana aku bisa membantumu?
Naho menjawab: kau sudah membantuku dengan menemaniku bicara. Musuh utamaku saat ini adalah kesendirian.
Aku menjauhkan diri dari tepi gedung dan menyandarkan diri. Aku bertanya pada Naho: kau tidak berpikir untuk bunuh diri, kan?
Naho menjawab: tentu tidak. Itu adalah hal paling bodoh untuk dilakukan. Kakakku bodoh karena melakukannya.
Aku bertanya: mengapa itu termasuk hal bodoh?
Jawab Naho: tak sadarkah kau, ketika kau bunuh diri, kau juga membunuh orang-orang yang mengenalmu, mencintaimu, dan peduli kepadamu? Bahkan jika kau merasa bahwa kau tidak memiliki siapa-siapa, orang-orang seperti itu akan tetap ada. Memang sulit untuk merasakan keberadaan mereka ketika kau sedang merasa terpuruk atau sedih. Dunia rasanya gelap. Tidak ada cahaya untuk hari esok. Semuanya terasa kosong.
Aku mencoba membalas, tetapi aku hanya mengetik dan menghapus, mengetik dan menghapus, mengetik dan menghapus. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.
Belum sempat aku membalas, Naho mengirim: kakakku selalu merasa bahwa ia sendirian. Ia selalu merasa bahwa ia melawan masalahnya sendiri dan tidak ada yang peduli padanya. Ia hidup dalam pikirannya sendiri selama bertahun-tahun. Beberapa bulan terakhir, ia bahkan mulai tidak peduli pada pesan-pesanku. Ia hanya berpikir bahwa ia lebih baik tidak ada di Bumi. Ia bodoh. Ia bodoh karena ia benar-benar menuruti pikirannya itu. Ia bodoh karena telah membuatku berantakan. Ia bodoh karena membuatku merasa seperti mayat hidup untuk saat ini.
Aku bingung, iba, dan masih tidak tahu apa yang harus kukatakan. Setelah beberapa menit, aku membalas: jika begitu, berjanjilah untuk tidak mengikuti jejak kakakmu.
Naho membalas: mengapa aku harus berjanji? Aku memang tidak akan mengikuti jejaknya.
Aku membalas: berjanjilah jika itu memang tidak akan terjadi.
Naho membalas: aku tidak suka berjanji untuk hal yang sudah jelas. Tapi, baiklah, aku akan berjanji jika kau juga berjanji.
Aku membalas: aku? Berjanji apa?
Balas Naho: berjanjilah untuk tidak bunuh diri juga. Mudah, bukan? Kita jadi sama-sama berjanji untuk hal yang tidak akan pernah kita lakukan.
Aku menelan ludah, berpikir, dan membalas: bagaimana jika suatu hari nanti aku bunuh diri?
Naho menjawab: maka kau telah membunuh orang-orang yang menyayangimu dan kehilangan kemungkinan untuk berbahagia bersama mereka. Kau ini menyimak atau tidak, sih?
Aku membalasnya dengan pertanyaan: mengapa kau bisa berkata seperti itu dalam keadaanmu yang seperti ini?
Naho membalas: oh, aku hanya perlu melihat diriku.
Aku membalas: apa yang sedang kaulakukan sekarang?
Naho membalas: menangis. Kau?
Aku membalas: duduk. Tapi, sepertinya aku juga akan menangis.
Naho bertanya: haruskah kita menonton The Garden of Words sekarang?
Aku menjawab: aku tidak tahu. Aku sedang ada di atap gedung.
Naho bertanya: sedang apa di atap gedung?
Aku menjawab: menatap langit.
Naho menjawab: menangislah kepada langit.
Aku bertanya: mengapa begitu?
Naho menjawab: karena langit juga sering menangis.
Aku bertanya: hujan, maksudmu?
Balas Naho: apa bedanya?
Jawabku: tidak ada.
Naho membalas: menangislah. Kalau dipikir-pikir, lucu juga. Aku baru mengenalmu beberapa jam lalu, lalu sekarang kita menjadi dua orang yang menangis. Aku bahkan bercerita kepadamu soal kakakku. Harusnya aku tidak menceritakannya kepada orang asing. Ya, tapi, mau bagaimana lagi? Kesedihan membuat kita melakukan hal-hal yang tidak terduga. Lagipula, setelah ini, kau sepertinya tidak lagi menjadi orang asing. Mana ada orang asing yang menangis bersama?
Aku tersenyum, meski dadaku makin sesak. Aku kemudian membalas: takdir?
Naho membalas: mungkin.
Aku diam sejenak. Tiba-tiba, di kepalaku muncul banyak hal. Pekerjaan yang dengan susah payah kudapatkan, kebahagiaanku ketika bermain musik, senyum seseorang di ujung jalan, tawa anak-anak di taman, sikap ramah kasir minimarket, pelukan mantan kekasihku sebelum ia meninggal karena kanker, senyum ibuku, tawa ibuku, pelukan ibuku, nasihat ibuku—semuanya bercampur menjadi satu dan menciptakan dimensi lain untuk kebahagiaanku yang pernah dan telah.
Aku kemudian menangis. Sesenggukan.
Sekitar setengah jam kemudian, aku membalas pesan Naho: apakah tangismu sudah berhenti?
Naho membalas: sudah. Air mataku tidak banyak.
Aku membalas: aku juga sudah.
Naho bertanya: kau dari Indonesia, ya? Aku pernah satu kali ke Indonesia.
Aku membalas: datanglah lagi.
Naho membalas: kelak.
Aku bertanya: sekarang, setelah menangis, apa yang akan kita lakukan?
Naho menjawab: melanjutkan hidup.
Aku bertanya: hidup yang seperti apa?
Naho menjawab: hidup yang tidak seperti yang kita bayangkan.
Aku membalas: baiklah. Kita mulai?
Naho membalas: ya, ayo kita mulai.
Tidak ada yang pernah mengira, setelah kejadian dan percakapan itu, aku dan Naho menjadi dua orang yang banyak bertukar cerita dengan keterbatasan berbahasa. Kadang, ketika kami lelah bercerita dalam bahasa Inggris, kami memanfaatkan Google Translate. Jadi, Naho menulis semuanya dalam bahasa Jepang, lalu aku akan memakai Google Translate untuk menerjemahkannya—meski kadang hasil terjemahannya aneh dan tidak masuk akal. Begitu pun sebaliknya.
Sejak itu, keinginan bunuh diri tidak pernah muncul lagi dalam kepalaku. Mungkin karena aku telah memiliki teman yang lebih menyedihkan daripada aku. Atau mungkin karena aku telah memiliki seseorang yang menemaniku memulai hidup baru. Kata orang, berdua lebih baik daripada sendiri. Memang betul. Dan sebetulnya, sendiri pun sama baiknya, jika kau terus mengingat orang-orang yang kausayangi dan/atau setidaknya pernah menyayangimu.
Naho tidak akan pernah tahu bahwa ia telah menyelamatkanku—dan aku tidak akan pernah mengatakan itu kepadanya seolah-olah ia telah menarikku keluar dari kesedihan untuk selama-lamanya. Sebab aku tahu: kesedihan tetap punya waktunya sendiri. Pada saat kesedihan berikutnya datang, bisa jadi Naho tidak mampu menyelamatkanku. Atau mungkin, bukan Naho yang nantinya menyelamatkanku. Satu yang aku tahu: jika suatu hari nanti aku harus bersedih, aku memiliki Naho. Dan jika pada hari itu Naho tidak ada, aku tahu: aku memiliki diriku yang telah bertahan sampai saat ini.
—- Dionisius Dexon